Ditulis oleh: Agus Irkham
Salah satu ukuran keberhasilan gerakan membaca adalah jika kegiatan literasi (membaca dan menulis) tidak hanya terpusat di ibukota. Tapi di daerah. Mulai dari provinsi hingga kabupaten. Bahkan kecamatan dan desa/kelurahan.
Apa pasal bisa dijadikan ukuran keberhasilan?
Karena letak persoalan literasi di Indonesia bukan pada rendah tingginya, tapi pada pemerataannya. Di satu tempat, ada begitu banyak orang yang sudah sadar dan tergerak untuk membaca buku. Tapi di lain tempat, gairah orang untuk beraktivitas menulis dan membaca (buku) masih rendah. Tak jarang justru dianggap tidak penting dan hanya buang waktu saja.
Forum Indonesia Membaca, sejak mula digagas memang bertujuan memperbanyak akses informasi, memfasilitasi dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya kepada masyarakat dalam penguatan budaya baca. Keseluruhan ikhtiar ditujukan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menguak kecintaan akan ilmu pengetahuan, seni dan nilai-nilai kemanusiaan. FIM mensosialisasikan aktivitas membaca dan menulis di tingkat lokal (local literacy). Serta mendukung tumbuhnya perpustakaan-perpustakaan komunitas (community libraries) di Indonesia.
Salah satu kegiatan besar yang rutin digelar FIM di tiap tahunnya adalah perayaan Hari Buku Sedunia (World Book Day). Sejak tahun 2006 hingga 2011 ini sudah 6 (enam) kali FIM menghelat acara tersebut. WBD Indonesia menjadi wadah perayaan antara beragam pihak yang terlibat dan berkepentingan (stakeholders) terhadap gerakan membaca di Indonesia. Mulai dari penerbit, penulis, pembaca, hingga komunitas buku (literasi).
Ada banyak kisah sukses dalam lima kali (tahun 2006 s.d. 2010) penyelenggarakan tersebut. Secara kasat mata, ukuran berhasilan itu bisa dilihat dari animo dan antusiasme masyarakat untuk mendatangi tempat perayaan WBD berlangsung. Termasuk liputan media, dan partisipasi komunitas literasi.
Sejak awal, kami sadar bahwa WBD Indonesia bukan milik FIM. Ia menjadi milik siapa saja, yang merasa mencintai buku. FIM hanya mencoba memberikan inspirasi, model atau pola perayaan. Harapan kami, inspirasi, model, dan pola perayaan tersebut di masa-masa berikutnya bisa menjadi rujukan banyak komunitas, terutama di daerah untuk menggelar WBD. Jadi WBD kami tempatkan sebagai strategi untuk mendesentralisasikan perayaan kampanye literasi.
Meskipun, belum bisa dikatakan sebagai sukses besar, wujud desentralisasi perayaan literasi itu sudah nampak. Misalnya. yang paling dekat di tahun 2010. WBD Indonesia sudah dirayakan di beberapa daerah. Yaitu di Bandung, Surabaya, dan Bojonegoro. Di Pekalongan, meskipun tidak menggunakan label perayaan WBD, Rumah Baca Jalapustaka memprakarsai kegiatan literasi berupa diskusi, bedah buku, pelatihan menulis, serta sepeda pustaka. Semua kegiatan dilakukan selama tiga hari. Dimulai persis pada tanggal dan bulan Hari Buku Sedunia (23 April). Selain itu program WBD Goes to School yang digulirkan sejak tahun 2009 telah mendapat renspon positif dari banyak sekolah yang tahun ini mulai menggelar WBD di sekolah masing-masing.
Perkembangan dunia literasi pada lima tahun terakhir ini cukup menggembirakan. Banyak komunitas buku lahir. Dengan berbagai macam nama yang menunjukkan identitas kelokalannya. Dunia penerbitan juga tidak mau ketinggalan. Dalam satu tahun menyelenggarakan pameran buku lebih dari dua kali. Dan yang patut dicatat pula, kini Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tumbuh di mana-mana. TBM hadir untuk mengatasi satu sebab kenapa minat baca masyarakat rendah, yaitu soal sulitnya mengakses buku.
Perkembangan dunia literasi juga mencakup kian beragamnya program kegiatan yang diadakan komunitas literasi. Keragaman itu bertemu pada satu titik: mengentalkan identitas kelokalan guna mengukuhkan ke-Indonesia-an. Pada titik ini, desentralisasi kampanye membaca tidak hanya terbatas pada bentuk dan kemasan (context) acara. Tapi juga pada isi (contents) acara.
Dalam bingkai keragaman itulah, maka mempertahankan WBD Indonesia yang harus dirayakan di ibu kota negara dengan mengangkat isu-isu yang bersifat terlalu umum menjadi kurang relevan. Dan rasa-rasanya agak sulit diwujudkan jika harus menampung semua komunitas literasi di Indonesia—mengingat jumlahnya yang kian waktu kian banyak.
WBD perpisahan
Atas dasar konstruksi berfikir di muka, maka FIM memutuskan diri: WBD Indonesia 2011 menjadi WBD terakhir yang kami gelar. Harapannya, mulai tahun 2012, WBD Indonesia tidak lagi diselenggarakan di Jakarta (sentralisasi), tapi menyebar ke pelosok nusantara (desentralisasi). Dan yang tampil sebagai inisiator dan pegiat utama bukan lagi FIM, tapi komunitas literasi khususnya, serta stakeholder dan shareholder literasi di tiap-tiap daerah pada umumnya.
Kami kira penyelenggaraan WBD di daerah akan jauh lebih efektif dan efisien. Karena langsung berdekatan dengan kelompok sasaran gerakan literasi. Dan dari perayaan ini pula, peta sebaran gerakan literasi di Indonesia akan semakin nampak. Penampakan peta sebaran ini penting. Karena bisa menjadi dasar bagi para stakeholder budaya baca di masing-masing daerah untuk merumuskan konsepsi dan program aksi literasi berikutnya. Dengan begitu gerakan literasi di Indonesia akan kian tumbuh dan mekar.♦
No comments:
Post a Comment